
Documentary
These videos are a documentary of my Exhibitions
AINSIJAM
Collection
Museum Tumurun
Year
2023
BAHTERA
Client
ISKANDAR MALAYSIA
Year
2023
PERSONIFIKASI
Client
KOMUNITAS SALIHARA
Year
2018 - 2022

UPCOMING SOON
UPCOMING SOON
23 Agustus 2025
ADU MANIS
Galeri Konumitas Salihara
Jakarta
18 September 2025
ALUR
Catur Dharma Hall, Menara Astra lantai 5
Jakarta
ALUR merupakan tema presentasi karya-karya seni rupa kontemporer Indonesia yang dihadirkan bersama-sama dengan presentasi pameran Alur Tenun NTT. Budaya Nusa Tenggara Timur (NTT) bukan hanya sekadar warisan tradisi, melainkan cerminan jati diri dan kekayaan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia. Dalam setiap karya kerajinan tangan, makanan, seni musik, hingga arsitektur, tersimpan cerita, filosofi, dan makna mendalam yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Astra Property berkontribusimembawa kekayaan budaya yang membentuk bangsa dan memperkenalkannya kembali ke khalayak masa kini, agar bersama-sama dapat berkembang dan berevolusi, sejalan dengan semangat ‘Elevating Life’. Astra Property tidak hanya membangun properti untuk masa depan, namun juga menghidupkan warisan budaya dan memberdayakan komunitas untuk hidup yang berkelanjutan. Living First 2025 – Ruang, Rasa, Rupa akan menjadi bukti nyata bahwa keberlanjutan tidak hanya soal lingkungan, tapi juga tentang menjaga identitas dan meningkatkan kesejahteraan komunitas.
Adu Manis — dalam tradisi pertukangan, istilah ini merujuk pada teknik menyambung dua bidang kayu yang dipotong 45 derajat, menciptakan sambungan sempurna 90 derajat. Dalam konteks pameran ini, frasa tersebut menjadi metafora untuk pertemuan ide, material, dan persepsi: bagaimana ketegangan antar unsur, material, lapisan dan struktur yang saling "bergesekan" justru melahirkan harmoni yang terasa “manis".
Pameran ini juga menjadi refleksi pemikiran Sanento Yuliman (Dua Seni Rupa), yang menegaskan bahwa seni Indonesia harus dibaca melalui kerangka lokalnya sendiri, tanpa tunduk pada wacana Barat. Karya non-figuratif dalam Adu Manis tidak bisa lagi dihadirkan sebagai "seni untuk seni", melainkan cermin kompleksitas zaman kini — di mana makna tidak lagi linier, dan harmoni lahir dari keberanian menerima paradoks.